Kisah Desa Rahtawu dan Pantangan Pagelaran Wayang Kulit
Kudus – Banyak petilasan di Desa Rahtawu, Kecamatan Gebog, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah. Di desa ini juga terdapat pantangan yang melarang warganya menyelenggarakan pagelaran wayang kulit. Konon, jika pantangan itu dilanggar bakal terjadi musibah. Berikut kisah selengkapnya.
Desa Rahtawu berada di Lereng Pegunungan Muria, sekitar 25 kilometer dari pusat Kota Kudus. Jika ditempuh dengan kendaraan bermotor membutuhkan waktu sekitar sejam. Jalan menuju desa ini cukup ekstrem, banyak tikungan tajam yang berbatasan dengan jurang nan curam.
Meski demikian, perjalanan yang lumayan melelahkan itu setimpal dengan keindahan panorama yang bisa dinikmati di sepanjang Lereng Muria.
Kepala Desa Rahtawu, Didik Aryadi, mengatakan di desanya terdapat puluhan petilasan atau bekas tempat pertapaan leluhur. Terutama tokoh pewayangan leluhur Pandawa, berdasarkan cerita turun temurun.
Petilasan-petilasan itu di antaranya petilasan Eyang Sakri, Lokajaya, Pandu, Palasara, Abiyoso. Petilasan tersebut pun menjadi daya tarik warga baik dari Kudus atau luar daerah untuk datang berziarah. Di Desa Rahtawu juga terdapat kawasan puncak yang diberi nama Puncak Songolikur.
“Kita sudah di atas 60 petilasan, cuma belum kita unggah. Sedang kita dalami narasinya seperti apa, supaya tidak keluar dari pakem yang ada. Ada petilasan Eyang Sakri, petilasan Eyang Abiyoso, Eyang Pandu Dewanata, Eyang Semar cukup terkenal bagi kalangan spiritualis,” kata Didik ditemui di lokasi, Jumat (8/7/2022).
Didik menjelaskan, di desanya juga terdapat pantangan yang dipercaya warga setempat secara turun-temurun. Pantangan itu ialah larangan menyelenggarakan pertunjukan wayang kulit. Jika ada warga yang melanggar pantangan itu diyakini bakal terjadi musibah.
“Pantangannya tidak boleh menanggap wayang, atau suatu berkenaan dengan wayang sangat dilarang di masyarakat. Banyak cerita ketika itu sekadar cerita, ada kejadian yang tidak masuk akal,” jelas dia.
Didik pun melanjutkan ceritanya. Pernah ada warga yang melanggar pantangan tersebut. Akibatnya, hampir separuh rumah warga terkena angin puting beliung. Kejadian itu menurut Didik sulit diterima nalar mengingat Desa Rahtawu berada di Lereng Muria.
“Angin kencang, hujan badai. Di sini satu kali lupa melakukan ritual sedekah saja pernah semua genteng kena angin, padahal di tempat dalam seperti ini,” terang dia.
Didik menambahkan, banyak peziarah datang di petilasan leluhur yang ada di Rahtawu. Terutama saat malam 1 Suro. Kata Didik, banyak peziarah dari luar kota yang datang ke desanya. Bahkan ada yang bermalam di petilasan yang ada di Desa Rahtawu.
“Setiap 1 Suro ada kegiatan ziarah ke petilasan. Rencana nanti ada banyak kegiatan, dari pesta sedekah bumi, peresmian, dan tujuh gunungan yang rencananya akan digelar pada Oktober 2022,” jelas Didik.
Source : https://www.detik.com